Kamis, 14 Mei 2020

Jangan Pasung Bapak, Nak!

True story in my village

Kisah ini seputar psikologi seorang Orang Tua yang Kehilangan Anaknya

Begini, di kampungku hidup sebuah keluarga (hehe ko rasanya aneh ya nyebutnya 'sebuah keluarga' ) terdiri dari Ayah, Ibu, 6 orang anak, 4 menantu, dan 3 orang cucu. Ya keluarga besarlah.

Anak pertama, laki-laki baru menjalankan satu tahun usia pernikahan dan belum dikaruniai anak.
Anak kedua, perempuan yang sudah belasan tahun menikah sejak lulus MA (setara SMA) sudah dikaruniai 2 anak dan sudah memiliki rumah sendiri.
Anak ketiga laki-laki sudah menikah dan tinggal di rumah mertuanya (rumah istrinya).
Anak keempat, perempuan sudah memiliki anak balita dan masih tinggal bersama ayah & ibu.
Anak kelima dan keenam keduanya laki-laki. Anak kelima baru lulus SMA sedangkan anak bungsunya masih MA kelas XI.
Bisa dibayangkan kan betapa ramainya.

Satu momen yang sangat tidak diinginkan menimpa keluarga tersebut, anak sulung (laki2 dan sudah beristri) meninggal dunia karena sakit. Entah aku lupa almarhum sakit apa. Sang Ayah rupanya sangat terpukul/sangat berduka atas kepergian anak sulungnya. Hingga suatu hari psikis si Ayah bermasalah behari-hari (efek dari terlalu memikirkan kepergian anaknya), beliau melamun berkepanjangan hingga pernah sampai tidak berpakaian (entah gimana asalnya). Tentu dipandangan istri dan anak-anaknya si Ayah ini hilang akal. Tidak dapat diajak berbicara dengan baik. Susahlah pokoknya. Dengan tega si Ayah dibiarkan tidur di dapur hanya dengan alas tidur berupa dipan bambu. Dengan kondisi tersebut, si Ibu tidak ingin tidur bersama si Ayah sebagaimana biasanya. Sekarang justru menjadi benci sebenci-bencinya.

Hari-hari berlalu, hingga suatu hari si Ayah ngamuk di rumahnya, merusak perkakas rumah tangga yang ada di dapur. Susah dibendung (bahasa kampungnya mah 'ora kejagan').

Beberapa lama setelah puas merusak segala yang ada di hadapannya, akhirnya si Ayah bisa menenangkan diri namun masih dengan wajah yang tampak melamun. Tapi ternyata si Ibu sangat khawatir jika si Ayah akan kumat lagi, khawatir akan melakukan kerusakan yang lebih parah. Akhirnya si Ayah diikat kedua tangan dan kakinya dan digotong ke rumah adik kandungnya yang tidak jauh dari rumahnya. Otomatis kejadian tersebut menjadi tontonan para tetangga, sungguh momen yang sangat menyedihkan, pedih.

Kenapa si Ayah dibawa ke rumah adiknya? Rupanya si Ibu dan anak-anak malu memiliki kepala keluarga yang tidak sehat tersebut, jadi dikembalikan ke rumah adiknya dengan tujuan agar dirawat oleh saudara2 kandungnya, karena memang selama 'sakit' tidak ada seorang saudara pun yang menjenguk si Ayah ini. (Katanya)

Apa yang terjadi sesampainya di rumah si Adik?
Rupanya si Adik pun syok dan tak berani berbuat/komentar apa-apa, melamun melihat kondisi kakaknya yang tampak lemah diikat kedua tanga dan kakinya. Pada saat kondisi itu si Ayah sebenarnya sadar bahwa dirinya sedang diikat dan beliau pun merintih,
"Lepaskan ikatan ini, nak" (sambil menyebut nama anak perempuannya.

Rintihan tersebut tak digubris oleh anaknya, pun oleh adiknya yang ketakutan karena masih ada saudara ipar (si Ibu) dan ponakannya (anak perempuan si Ayah). Sebenarnya si Adik sangat ingin melepaskan ikatan tersebut, kasihan, namun ia pun tak dapat berkutik.
Barulah setelah si Ibu dan anak2nya kembali ke rumahnya, si Adik berani melepaskan ikatan tersebut.

Singkat cerita, dengan musyawarah antara pihak keluarga-RT-dan RW, si Ayah akhirnya dibawa ke sebuah rumah sakit di Jakarta untuk diobati. Awalnya si Ayah menolak, beriskeras tidak mau, karena takut akan dibuang ( jadi si Ayah ini cukup menyadari kondisinya yang sudah dibenci oleh istri dan anak-anaknya, jadilah ia berpikiran dan khawatir ia akan dibuang, dicampakkan keluarganya sendiri). Namun dangan bujukan pak RW, si ayah mau juga sibawa ke RS.

Selama di RS tersebut, rupanya pihak RS berhasil mengembalikan jiwa yang sehat si Ayah, selama di sana beliau menjadi Imam dan Muadzin beberapa kali. Setelah dua minggu dilewati akhirnya si Ayah diijinkan pulang. Alhamdulillah si Ibu dan anak-anaknya mau menerima si Ayah kembali, karena sudah sehat.

Sekian.

2 komentar:

  1. Masyaallah kasihan bapaknya, psikis terganggu malah ditambah Msalahnya dengan dijauhkan dari keluarga. Pasti batinnya menangis. Mudh²an allah swt selalu memberikan bapak kesehatan jiwa dan raga. Dan mudh²an allah swt memberi kesabaran dan ketbhan untuk istri serta anak² nya agar bisa membimbing si bapak kembali pulih seperti sedia kala. Aku pun punya cerita yg sama teh alfi. Ini kisah di tempat nenek, tapi bukan sakit psikis melainkan karna tumor ganas, sehingga sulit menyatukan anak²nya untuk membantu ibunya mengurus sang ayah. Ibunya kasihan sudah tua hanya mngurus aeorang diri.mudh²an kelak kita memiliki keluarga yang menerima apa adanya disaat suka dan duka yah teh. Maksii ceritanyaa zangat mnyentuh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus