For the last examination in Philosophy Lesson
Dasar pendidikan
adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi
dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan
hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi
mengenai masalah-masalah pendidikan.
Filsafat sebagai induk ilmu-ilmu lainnya pengaruhnya masih
terasa. Setelah filsafat ditingkalkan oleh ilmu-ilmu lainnya, ternyata filsafat
tidak mati tetapi hidup dengan corak tersendiri yakni sebagai ilmu yang
memecahkan masalah yang tidak terpecahkan oleh ilmu-ilmu khusus. Akan tetapi
jelaslah bahwa filsafat tidak termasuk ruangan ilmu pengetahuan yang khusus.
Filsafat boleh dikatakan suatu ilmu pengetahuan, tetapi obyeknya tidak
terbatas, jadi mengatasi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya merupakan bentuk ilmu
pengetahuan yang tersendiri, tingkatan pengetahuan tersendiri. Filsafat itu
erat hubungannya dengan pengetahuan biasa, tetapi mengatasinya karena dilakukan
dengan cara ilmiah dan mempertanggungjawabkan jawaban-jawaban yang
diberikannya.
Ilmu bersifat deskriptif tentang obyeknya agar dapat
menemukan fakta-fakta, teknik-teknik dan alat-alat. Filsafat tidak hanya
melukiskan sesuatu, melainkan membantu manusia untuk mengambil keputusan
tentang tujuan, nilai dan tentang apa yang harus diperbuat manusia. Filsafat
tidak netral, karena faktor-faktor obyektif memegang peranan yang penting dalam
berfilsafat. Ilmu bersifat analitis, ilmu pengetahuan hanya menggarap salah
satu lapangan pengetahuan sebagai obyek formalnya. Sedangkan filsafat belajar
dari ilmu pengetahuan dengan menekankan keseluruhan dari sesuatu (sinoptis),
karena keseluruhan mempunyai sifat sendiri yang tidak ada pada
bagian-bagiannya.
Hidup
dengan benar ditandai oleh pemilihan jalan yang benar. Seseorang yang menjalani
kehidupan pribadi dan pekerjaannya berdasarkan standar moral dan etika yang
tinggi dapat menjadi inspirasi bagi kita. Tidak jarang kita berusaha mencontoh
perilaku terpuji para tokoh panutan karena bagi kita mereka telah meletakkan
standar menjalani kehidupan dengan benar. Seperti diungkapkan dalam Amsal
4:18-19, “Tetapi jalan orang benar itu seperti cahaya fajar, yang kian
bertambah terang sampai rembang tengah hari. Jalan orang fasik itu seperti
kegelapan; mereka tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tersandung.”
Kita
kini hidup di era yang menganut nilai relativisme, suatu masa di mana berlaku
ungkapan, “Tidak ada kemutlakan!” Dalam banyak hal, garis pemisah antara
kebenaran dan kekeliruan telah menjadi kabur, jika tidak ingin dikatakan
terhapus sama sekali. Tetapi, jauh di dalam lubuk hati, kebanyakan dari kita
masih tetap dapat membedakan mana yang benar dan yang salah – paling tidak
dalam beberapa aspek kehidupan.
Misalnya,
tidak ada satu pun di antara kita yang rela seseorang mengambil sesuatu yang
menjadi milik kita. Kita tidak suka dibohongi, dan ketidakjujuran cenderung
menghancurkan hubungan di tempat kerja, di rumah, dalam jalinan persahabatan,
dan dalam organisasi kemasyarakatan. Tak seorangpun dapat menerima apabila
kerusakan mesin mobil dijadikan alasan pengalih kecerobohan pengemudi mabuk
yang mengakibatkan seseorang cedera atau meninggal dunia. Kita sepakat
memandang sebagai hal yang tercela, bila seorang eksekutif menjual rahasia perusahaan
demi keuntungan pribadi. Atlet yang “bermain sabun” merekayasa skor
pertandingan juga dikategorikan melakukan tindakan yang salah. Dan masih banyak
hal salah lainnya yang dapat kita sebutkan. Mungkin tidak semua orang
sependapat dalam setiap kasus, namun tampaknya kita semua mempunyai perasaan
naluriah mengenai cara yang benar menjalani hidup – apa yang oleh Alkitab
disebut sebagai, “kebenaran”.
Hidup dengan benar ditandai oleh pemilihan jalan yang benar.
Seseorang yang menjalani kehidupan pribadi dan pekerjaannya berdasarkan standar
moral dan etika yang tinggi dapat menjadi inspirasi bagi kita. Tidak jarang
kita berusaha mencontoh perilaku terpuji para tokoh panutan karena bagi kita
mereka telah meletakkan standar menjalani kehidupan dengan benar. Seperti
diungkapkan dalam Amsal 4:18-19, “Tetapi jalan orang benar itu seperti cahaya
fajar, yang kian bertambah terang sampai rembang tengah hari. Jalan orang fasik
itu seperti kegelapan; mereka tidak tahu apa yang menyebabkan mereka
tersandung.”
Merenung adalah memikirkan sesuatu atau segala sesuatu, tanpa keharusan adanya kontak langsung dengan objeknya, misalnya makna hidup, kebenaran, keadilan, keindahan dan sebagainya. Merenung adalah suatu cara yang sesuai dengan watak filsafat, yaitu memikirkan segalah sesuatu sedalam-dalamnya, dalam keadaan tenang hening dan sungguh-sungguh dalam kesendirian atau kapan dan dimanapun.
Juga bagian dari perenung/ merenung. Karena melalui perenungan dengan pikiran yang tenang kritis, pikiran umum cenderung menganlisis, mengubungkan antara masalah berulang-ulang sampai pada tujuan.
Merenung adalah memikirkan sesuatu atau segala sesuatu, tanpa keharusan adanya kontak langsung dengan objeknya, misalnya makna hidup, kebenaran, keadilan, keindahan dan sebagainya. Merenung adalah suatu cara yang sesuai dengan watak filsafat, yaitu memikirkan segalah sesuatu sedalam-dalamnya, dalam keadaan tenang hening dan sungguh-sungguh dalam kesendirian atau kapan dan dimanapun.
Juga bagian dari perenung/ merenung. Karena melalui perenungan dengan pikiran yang tenang kritis, pikiran umum cenderung menganlisis, mengubungkan antara masalah berulang-ulang sampai pada tujuan.
Manusia selalu mencari kebenaran, jika
manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk
melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran,
tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin,
konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan
harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia
juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidup.
Filsafat dan agama baru dapat dirasakan faedahnya dalam
kehidupan manusia apabila merefelesikanya dalam diri manusia. Menurut
Prof.Nasioen,SH mengatakan bahwa “Filsafat yagn sejati haruslah berdasarkan
kepada agama, apabila filsafat tidak beradasarkan agama, dan hanya semata-mata
berdasarkan atas akal pikiran saja, maka filsafat tersebut tidak akan memuat
kebenaran objektif. Karena yang emmberikan pandangan dan putusan adalah akal
pikiran.
Filsafat dan agama mempunya hubungan yang terkait dan
reflesif dengan manusia artinya keduanya tidak ada alat penggerak dan tenaga
utama di dalam diri manusia, yang dikatakan alat dan penggerak tenaga utama
pada diri manusia adalah akal, pikiran, rasa, dan kenyakinan. Dengan alat ini
manusia akan mencapai kebahagiaan bagi dirinya. Agama dapat menjadi petunjuk,
pegangan serta pedoman hidup bagi manusia dalam menempuh hidupnya dengan
harapan penuh keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan. Manakala manusia menghadapi
masalah yang rumit dan berat, maka timbullah kesadaranyna, bahw amanusia
merupakan makhluk yang tidak berdaya untuk mengatasinya dan timbulnya
kepercayaan dan keyakinan bahwa yang dapat menolong dan menangkan hidupnya
adalah Tuhan Sang Pencipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar