Sabtu, 31 Desember 2016

The Last Exam of Philosophy


For the last examination in Philosophy Lesson


Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.
 
Filsafat sebagai induk ilmu-ilmu lainnya pengaruhnya masih terasa. Setelah filsafat ditingkalkan oleh ilmu-ilmu lainnya, ternyata filsafat tidak mati tetapi hidup dengan corak tersendiri yakni sebagai ilmu yang memecahkan masalah yang tidak terpecahkan oleh ilmu-ilmu khusus. Akan tetapi jelaslah bahwa filsafat tidak termasuk ruangan ilmu pengetahuan yang khusus. Filsafat boleh dikatakan suatu ilmu pengetahuan, tetapi obyeknya tidak terbatas, jadi mengatasi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya merupakan bentuk ilmu pengetahuan yang tersendiri, tingkatan pengetahuan tersendiri. Filsafat itu erat hubungannya dengan pengetahuan biasa, tetapi mengatasinya karena dilakukan dengan cara ilmiah dan mempertanggungjawabkan jawaban-jawaban yang diberikannya.

Ilmu bersifat deskriptif tentang obyeknya agar dapat menemukan fakta-fakta, teknik-teknik dan alat-alat. Filsafat tidak hanya melukiskan sesuatu, melainkan membantu manusia untuk mengambil keputusan tentang tujuan, nilai dan tentang apa yang harus diperbuat manusia. Filsafat tidak netral, karena faktor-faktor obyektif memegang peranan yang penting dalam berfilsafat. Ilmu bersifat analitis, ilmu pengetahuan hanya menggarap salah satu lapangan pengetahuan sebagai obyek formalnya. Sedangkan filsafat belajar dari ilmu pengetahuan dengan menekankan keseluruhan dari sesuatu (sinoptis), karena keseluruhan mempunyai sifat sendiri yang tidak ada pada bagian-bagiannya.

Hidup dengan benar ditandai oleh pemilihan jalan yang benar. Seseorang yang menjalani kehidupan pribadi dan pekerjaannya berdasarkan standar moral dan etika yang tinggi dapat menjadi inspirasi bagi kita. Tidak jarang kita berusaha mencontoh perilaku terpuji para tokoh panutan karena bagi kita mereka telah meletakkan standar menjalani kehidupan dengan benar. Seperti diungkapkan dalam Amsal 4:18-19, “Tetapi jalan orang benar itu seperti cahaya fajar, yang kian bertambah terang sampai rembang tengah hari. Jalan orang fasik itu seperti kegelapan; mereka tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tersandung.”


Kita kini hidup di era yang menganut nilai relativisme, suatu masa di mana berlaku ungkapan, “Tidak ada kemutlakan!” Dalam banyak hal, garis pemisah antara kebenaran dan kekeliruan telah menjadi kabur, jika tidak ingin dikatakan terhapus sama sekali. Tetapi, jauh di dalam lubuk hati, kebanyakan dari kita masih tetap dapat membedakan mana yang benar dan yang salah – paling tidak dalam beberapa aspek kehidupan.
Misalnya, tidak ada satu pun di antara kita yang rela seseorang mengambil sesuatu yang menjadi milik kita. Kita tidak suka dibohongi, dan ketidakjujuran cenderung menghancurkan hubungan di tempat kerja, di rumah, dalam jalinan persahabatan, dan dalam organisasi kemasyarakatan. Tak seorangpun dapat menerima apabila kerusakan mesin mobil dijadikan alasan pengalih kecerobohan pengemudi mabuk yang mengakibatkan seseorang cedera atau meninggal dunia. Kita sepakat memandang sebagai hal yang tercela, bila seorang eksekutif menjual rahasia perusahaan demi keuntungan pribadi. Atlet yang “bermain sabun” merekayasa skor pertandingan juga dikategorikan melakukan tindakan yang salah. Dan masih banyak hal salah lainnya yang dapat kita sebutkan. Mungkin tidak semua orang sependapat dalam setiap kasus, namun tampaknya kita semua mempunyai perasaan naluriah mengenai cara yang benar menjalani hidup – apa yang oleh Alkitab disebut sebagai, “kebenaran”.

Hidup dengan benar ditandai oleh pemilihan jalan yang benar. Seseorang yang menjalani kehidupan pribadi dan pekerjaannya berdasarkan standar moral dan etika yang tinggi dapat menjadi inspirasi bagi kita. Tidak jarang kita berusaha mencontoh perilaku terpuji para tokoh panutan karena bagi kita mereka telah meletakkan standar menjalani kehidupan dengan benar. Seperti diungkapkan dalam Amsal 4:18-19, “Tetapi jalan orang benar itu seperti cahaya fajar, yang kian bertambah terang sampai rembang tengah hari. Jalan orang fasik itu seperti kegelapan; mereka tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tersandung.”


Merenung adalah memikirkan sesuatu atau segala sesuatu, tanpa keharusan adanya kontak langsung dengan objeknya, misalnya makna hidup, kebenaran, keadilan, keindahan dan sebagainya. Merenung adalah suatu cara yang sesuai dengan watak filsafat, yaitu memikirkan segalah sesuatu sedalam-dalamnya, dalam keadaan tenang hening dan sungguh-sungguh dalam kesendirian atau kapan dan dimanapun.


Juga bagian dari perenung/ merenung. Karena melalui perenungan dengan pikiran yang tenang kritis, pikiran umum cenderung menganlisis, mengubungkan antara masalah berulang-ulang sampai pada tujuan.



Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidup.


Filsafat dan agama baru dapat dirasakan faedahnya dalam kehidupan manusia apabila merefelesikanya dalam diri manusia. Menurut Prof.Nasioen,SH mengatakan bahwa “Filsafat yagn sejati haruslah berdasarkan kepada agama, apabila filsafat tidak beradasarkan agama, dan hanya semata-mata berdasarkan atas akal pikiran saja, maka filsafat tersebut tidak akan memuat kebenaran objektif. Karena yang emmberikan pandangan dan putusan adalah akal pikiran.

Filsafat dan agama mempunya hubungan yang terkait dan reflesif dengan manusia artinya keduanya tidak ada alat penggerak dan tenaga utama di dalam diri manusia, yang dikatakan alat dan penggerak tenaga utama pada diri manusia adalah akal, pikiran, rasa, dan kenyakinan. Dengan alat ini manusia akan mencapai kebahagiaan bagi dirinya. Agama dapat menjadi petunjuk, pegangan serta pedoman hidup bagi manusia dalam menempuh hidupnya dengan harapan penuh keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan. Manakala manusia menghadapi masalah yang rumit dan berat, maka timbullah kesadaranyna, bahw amanusia merupakan makhluk yang tidak berdaya untuk mengatasinya dan timbulnya kepercayaan dan keyakinan bahwa yang dapat menolong dan menangkan hidupnya adalah Tuhan Sang Pencipta.